Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Narasi paragraf ke 3 preambule UUD 1945 itu bukanlah ungkapan basa-basi. Apalagi sekedar pemantasan ketersambungan antar kalimat. Juga bukan semata-mata ungkapan spiritual. Melainkan memiliki justifikasi faktual. Perpaduan antara kesadaran spiritual dan kondisi faktual sekaligus.
“Atas Berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Itulah rumusan lengkapnya. Kemerdekaan itu merupakan berkat Rahmat Allah. Tentu ada keinginan luhur yang dimanifestasikan melalui perjuangan panjang.
Pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah mengajarkan kemerdekaan buah persatuan. Rentetan panjang melawan penjajah dilakukan secara mandiri-mandiri. Kedaerahan atau kelompok. Gagal. Setelah Sumpah Pemuda 1928, perjuangan dilakukan dalam balutan persatuan. Perjuangan itu membuahkan hasil.
Narasi “persatuan” itu benar adanya. Akan tetapi, tidak cukup. Faktanya hingga jauh setelah kemerdekaan, konsensus persatuan bangsa itu masih dalam proses untuk diwujudkan. Sebelum 1965 banyak pemberontakan daerah dan disintegrasi bangsa.
Apa justifikasi faktual narasi “Atas Berkat Rahmat Allah” itu?. Kita bisa melihatnya dari konstruksi peristiwa perang dunia.
Kemunculan Hitler-Nazi Jerman pada PD (Perang Dunia) II membuat Eropa menderita. Nazi menjadikan Eropa sebagai daerah pendudukan. Belanda yang menjajah Indonesia itu, terpaksa merasakan bagaimana pedihnya hidup dijajah. PD II dimulai sejak 1 September 1939 ketika Jerman menginvasi Polandia. Hingga 2 Septemner 1945. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat setelah di bom atom AS.