Ancam Kedaulatan Rakyat Indonesia, Waspadai Modus Operandi Kejahatan Mafia Tanah, Mafia Bisnis, dan Mafia Peradilan

OLEH AHMAD KHOZINUDIN, S.H.

Saat membaca berita tentang Direktur dan Komisaris PT Inet Global Indo (Inet), Santoso Halim dan Sukoco Halim, yang diduga merekayasa pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap perusahaan jasa internet yang mereka dirikan sendiri, penulis langsung teringat sejumlah kasus kejahatan para mafia, baik mafia tanah, mafia bisnis dan mafia peradilan, yang melakukan kejahatan dengan modus operandi memanfaatkan norma hukum/kebijakan yang tersedia.

Apalagi, nama Santoso Halim dalam komunitas tertentu bukanlah nama baru. Nama yang sangat familiar, bagi siapa saja yang bersentuhan dan menjadi korban kejahatan bisnis dengan berbagai modus operandi.

Dalam kasus mafia tanah, seperti yang penulis tangani di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, para mafia memanfaatkan kebijakan konsinyasi dan memasukkan sejumlah pihak untuk menjadi pihak yang berhak sebagai termohon konsinyasi.

Akhirnya, pihak yang berhak yang semestinya bisa mengambil uang ganti rugi atas tanah mereka yang digusur menjadi jalan tol, terhalang karena harus bertarung di pengadilan.

Setelah bertarung di pengadilan, dan menang di tingkat kasasi, ternyata mafia tanah mengajukan gugatan baru dengan tujuan untuk menghalangi pihak yang berhak mengambil uang ganti rugi, meskipun sudah menang putusan kasasi.

Ini merupakan modus merampas hak atas uang ganti rugi tanah yang digusur dan dititipkan di pengadilan, dengan cara membuat gugatan baru berdasarkan norma PP pengadaan tanah untuk kepentingan umum, memaksa pemegang hak agar berdamai dan berbagi uang konsinyasi.

Atau seperti yang dialami oleh SK Budiardjo & Nurlela. Tanahnya dirampas oleh korporasi (PT SSA), dengan modus mendirikan korporasi antara/mediator untuk bertransaksi, sehingga korporasi yang merampas tanah seolah menjadi pembeli beritikad baik yang telah membeli tanah melalui korporasi antara/mediator (PT BMJ).