Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Maraknya diskursus penegakan hukum lebih pada soal efektivitas. Seberapa efektif hukum mampu mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Apa penyebab kurang efektifnya penegakan hukum?. Kenapa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas?. Itulah narasi dan diskursus publik yang selama ini berkembang.
Metode penanganan kasusnya sendiri bersifat random. Tergantung pengaduan atau mencuatnya sebuah kasus di tengah-tengah masyarakat. “No Viral, No Justice”. Tidak ada viral tidak ada keadilan. Ketika sebuah kasus hukum menyeruak ke publik, baru ada penanganan secara serius.
Itu menandakan tidak ada metode penentuan skala prioaritas penanganan perkara. Di tengah banyaknya tumpukan perkara yang harus di tangani. Di tengah maraknya beragam modus kejahatan bermunculan.
Manajemen penegakan hukum perlu megadopsi manajemen skala prioritas dalam penanganan perkara. Prioritas perkara-prioritas yang harus diselesaikan secepatnya. Bagaimana caranya?. Tentu bisa meminjam metode penentuan skala prioritas dalam disiplin ilmu lain. Ilmu di luar ilmu hukum. Ilmu manajemen misalnya.
Dalam ilmu manajemen dikenal Eisenhower Decision Matrix (EDM). Diciptakan oleh Dwight Eisenhower. Untuk penetuan skala prioritas aktivitas dalam manajemen waktu.
EDM ditentukan berdasarkan prinisp urgency (kemendesakaan) dan Importantly (seberapa penting suatu hal). Sebuah masalah diklasifikasikan dalam kategori “mendesak” dan tidak mendesak untuk dilakukan. Juga “seberapa penting” dan “seberapa tidak penting” untuk dilakukan.
Berdasarkan prinsip itu sebuah permasalahakan diklasifikasi lagi ke dalam empat kuadran. Kuadran I: katategori penting dan mendesak untuk dilakukan. Kuadran II: kategori penting tapi tidak mendesak untuk dilakukan. Kuadran III: kategori kurang penting tapi mendesak dilakukan. Kuadran IV: kategori kurang penting dan tidak mendesak.