Serigala yang Ditinggalkan

CERPEN RUDI AGUS HARTANTO

Hampir semua orang panik, sebab malam itu menjadi pertarungan pertama mereka pasca lulus akademi. Mata mereka semakin tajam, teropong senjata pendeteksi panas mereka arahkan ke berbagai sudut hutan.

Gesekan ranting pohon tak mengganggu perhatian mereka. Bulu kuduk mereka tegak berdiri kala desisan angin terasa semakin dingin. Suara peluru meletup, diikuti letupan lainnya beserta selongsong senjata yang jatuh ke tanah.

“Arah jam dua belas!” suara teriakan menuntun kelanjutan kepanikan itu. Tetapi semua kembali hening, ketika komandan berteriak untuk berhenti. Mereka mengumpat pelan, karena terkecoh dengan langkah babi yang sebelumnya mereka kira suara orang berlari.

Hal itu menyulut emosi komandan, tidak menutup kemungkinan musuh telah mengetahui keberadaan mereka. Segala taktik yang telah direncanakan di titik penerjunan seketika harus berubah. Komandan mengambil keputusan mengubah rute perjalanan dengan berbelok sekitar dua puluh derajat ke arah kanan.

Medan yang mereka lewati sedikit lebih terbuka daripada jalur sebelumnya. Di barisan itu, Arthur berposisi paling depan. Ia masih tak habis pikir, hanya karena babi nyawa semua orang menjadi terancam. Mungkin ketika kakinya sedang bergantian melangkah, di balik rimbun rerumputan di kejauhan sebuah senjata sedang mengarah ke kepalanya.

Atau bisa jadi sebuah granat siap dilempar meledakkan tubuhnya. Semua serba kemungkinan, karenanya ia kembali fokus ketika komandan menegaskan di medan terbuka senjata tidak mengenal tuan.

Arthur begitu was-was, sedikit saja mereka kembali terkecoh dengan langkah hewan, di medan seperti itu satu-satunya perhitungan yang tepat hanyalah kematian. Ia terus melangkah pelan ke depan, tetapi ia merasa seperti menginjak suatu logam di kaki kirinya. Ia meminta semua orang berhenti, lalu ia menunjuk kaki kirinya.

Lihat juga...