Tak lama setelah itu, Arthur pulang ke rumah untuk sementara waktu sembari menunggu pemberitahuan tugas. Di kamarnya, ia begitu kangen dengan ibu. Apa boleh buat, sudahlah keharusan bagi seorang prajurit memegang kata-katanya.
Dalam kenestapaan itu, ia terus merenung di depan jendela yang menghadap ke pekarangan, memandang jauh ke dalam kegelapan. Menelusuri benang merah atas semua yang telah ia lewati.
Sebuah surat datang, pemberitahuan perihal penugasannya yang bertempat di konflik perebutan wilayah di ujung negara. Pada saat orang-orang melambaikan tangan kepada keluarga di bandara, ia hanya menenteng tas dan langsung menuju pesawat.
Dari jendela ia melihat orang-orang saling berpelukan dan berkecup kening. Ia terbang. Suara pilot melapangkan hatinya bahwa mereka sedang membawa tugas mulia, menyelamatkan sejengkal wilayah tanah air.
Sesampainya di titik penerjunan Arthur baru mengetahui tempat itu berada di tengah hutan berawa. Semua segera bersiap setelah parasut tuntas terlipat. Komandan memberi pengantar dan pengarahan mengenai kondisi medan, kemungkinan titik berkumpulnya pemberontak, serta taktik untuk mengalahkan mereka. Suara komandan terasa semakin meyakinan jiwa pasukan kala menerangkan mengapa nama satuannya ialah Auman Api.
Gambar tengkorak dengan latar belakang api berada tepat di bawah bendera negara. Hal itu bertujuan untuk menyuntikkan tenaga tambahan kepada tangan saat memantik senjata ke arah musuh. Begitu selesai, komandan menyalakan korek api lalu meniupnya diikuti langkah serdadunya menuju kedalaman rimba.
Tetapi setelah beberapa jam perjalanan, salah satu prajurit terkena ranjau darat yang membuat kakinya berceceran di mana-mana. Komandan mendesis untuk berhati-hati dan bersiap jika ada serangan musuh. Sebagian dari prajurit medis menolong orang itu yang merintih dan menangis.