Krisis Politik 1998, Kenapa Presiden Soeharto Menyatakan Berhenti?
Oleh: Abdul Rohman
Masalahnya adalah kelangsungan agenda tinggal landas yang juga sedang dihadapkan pada krisis moneter dan ekonomi. Presiden Soeharto sempat bertanya kepada tokoh-tokoh gerakan reformasi. Apakah dengan berhentinya sebagai Presiden, permasalahan bangsa akan teratasi. Namun para penggerak reformasi rupanya tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
Presiden Soeharto tidak ingin pilihan-pilihan yang diambilnya berisiko mengorbankan rakyat yang ia perjuangkan sejak muda. Jika menempuh cara tegas menghadapi demonstran (yang sebenarnya tidak lebih banyak dari demonstrasi 212 pada era reformasi) akan menimbulkan korban jiwa.
Seorang wartawan pernah menanyakan ke Presiden Soeharto (beberapa tahun setelah berhenti), bagaimana kalkulasinya atas situasi pada saat itu. Presiden Soeharto mengkalkulasi jika para demonstran dihadapi secara tegas, maka ada 500 korban jiwa meninggal. Presiden Soeharto menghindari peristiwa yang bisa jadi akan mirip Tian’anmen RRC. Ia tidak ingin rakyatnya yang selama ini ia perjuangkan menjadi korban.
Hingga dalam jangka panjang, publik Indonesia terbuai opini bahwa setiap pelaku gerakan 1998 merupakan gerakan tunggal, reformasi. Tanpa menelaah secara kritis latar belakang, motif dan agenda-agenda kelompok yang bergerak dan sebagai penggerak pada situasi tersebut. Masyarakat tidak banyak menyadari bahwa ada yang menunggangi arus besar reformasi untuk tujuan pragmatisnya masing-masing.
Kegagalan diagnosa terhadap peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia itu telah menyebabkan komplikasi persoalan bangsa nyaris tak kunjung terurai hingga hampir dua dekade reformasi. Bangsa Indonesia tidak kunjung bisa mengidentifikasi siapa kawan dan siapa lawan dalam membangun masa depan Indonesia.