Petuah Ayah

CERPEN GANDI SUGANDI

Dani nyaris putus asa. Untuk melepas lelah, kembali duduk di satu hamparan rumput sembari membayangkan nasib hari ini. Apakah aku akan bisa keluar—yang berarti selamat.

Ataukah tetap berada di sini dan harus menginap dengan risiko bertemu hewan buas atau bahkan dibawa makhluk gaib ke alamnya. Dani sadar, tersesat di sini tentu akan amat berat taruhannya.

Sinar matahari kini mulai redup, tak seterik tadi ketika meninggalkan kedua teman. Namun tentulah, semakin meredup cahaya matahari, hari semakin sore, gelap pun akan datang. Dibayangkannya ngeri bila masih berada di tengah hutan ketika malam tiba. Ke mana arah jalan?

Dani pun bangkit dari duduk. Seraya melangkah, sebatang rokok keretek kembali dibakar, disesapi, dengan terus berpikir bagaimana caranya agar bisa luput dari hutan ini.

Tiba-tiba, Dani teringat ayahnya. Segeralah pesan dikirm, keadaan diceritakan. Ayahnya gegas menjawab agar selalu melihat pohon tinggi. Dani mengikuti petuah ini.

Pohon yang paling tinggi di sekitar adalah sebatang pohon berbatang putih, pohon kiara. Dani mendekatinya. Lalu kata ayahnya, lihatlah matahari yang akan tenggelam ke arah barat.

Dani pun memperhatikan. Tadi masuk ke petak hutan ini dari arah utara. Maka dari titik berdirinya ini, diperkirakannya arah menuju utara dengan menyiku.

Diterobosnya semak belukar. Tanaman menjalar menjadi pegangan memanjat untuk menaikkan tubuhnya ke kontur tanah yang lebih tinggi. Dani tak henti terus menerobos. Berkali-kali duri putri malu, ranting-ranting kaliandra, atau pinggir daun ilalang yang tajam melukai kedua lengannya.

Entahlah, apakah yang telah dilewatinya barusan adalah yang tadi pernah dilewati atau tidak, Dani sama sekali tidak tahu. Rasa capai dan pegal di kedua kaki pun tak dihiraukan dengan terus berjalan. Hingga sekira satu jam berlalu, maka pohon asam itu terlihatlah.

Lihat juga...