Sepenggal Kisah Pasca-Muktamar NU di Lampung

OLEH: M. IWAN SATRIAWAN

Karena sejatinya muktamar bukan hanya ajang pemilihan ketua Tanfidziyah saja. Ada lebih dari itu yaitu ajang silaturahmi seluruh jamiyah NU se-Indonesia dan dunia, ajang mencari keberkahan santri terhadap kiai-nya yang datang di arena muktamar. Sehingga tidak heran seringkali jumlah peserta aktif muktamar kalah jauh dengan jumlah muhibbin atau romli (rombongan liar) yang bukan pemilik suara datang ke arena muktamar.

Belum lagi jumlah panitia yang sekitar 1500 orang yang terdiri dari panitia pusat, daerah dan lokal ditambah unsur Pagar Nusa dan Banser plus aparat keamanan dari kepolisian hingga TNI tentunya menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi seksi konsumsi untuk menyediakan lebih kurang sekitar 5000 bungkus atau kotak nasi setiap hari dan diedarkan ke empat tempat yang berbeda yaitu Pondok Pesantren Darussa’adah, UNILA, UIN RIL dan Malahayati sebagai tempat panitia, aparat keamanan dan peserta muktamar bermukim.

Tantangan NU ke Depan

Setidaknya ada 6 (enam) komisi yang bersidang di sela-sela Muktamar NU ke-34 Lampung yaitu Komisi Qonuniyah yang membahasa persoalan perundang-undangan, Komisi Bahtsul Masail Maudlu’iyah yang fokus pada masalah-masalah tematik, Komisi Bathsul Masail Waqi’iyah yang fokus pada status hukum fiqih kasus-kasus aktual, Komisi Organisasi, Komisi Program dan Komisi Rekomendasi.

Dari ke enam komisi tersebut, yang paling menarik perhatian adalah rekomendasi apa yang dihasilkan peserta muktamar kepada ketua PBNU terpilih masa kerja 2021-2025 ke depan. Setidaknya penulis mencatat terkait dengan hukum dan korupsi yang sampai sekarang peran serta NU dalam pemberantasan dan penegakan hukumnya masih setengah-setengah. Kemudian terkait dengan distribusi tanah yang masih 70% tanah di Indonesia dikuasai kurang dari 10% penduduk Indonesia dan terkait penerapan UU Pesantren yang masih mandul karena dinamika politik anggaran di daerah yang juga tidak kalah rumitnya.

Lihat juga...