Wiwitan, Tradisi Bersyukur Petani di Lamsel Tetap Lestari
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Rasa syukur kepada Tuhan secara vertikal telah disimbolkan dengan doa dan sejumlah syarat. Rasa syukur, terima kasih secara horisontal diperlihatkan dengan mengundang kerabat, tetangga dan warga yang akan ikut memanen.
Tradisi nyeblok atau menanam lalu mendapat jatah panen membuat warga ikut menikmati rasa syukur. Sebagian ibu rumah tangga dan petani lain diundang.
Tini, sang anak menyebut telah menyediakan beragam hidangan. Makanan berupa nasi lengkap dengan lauk ikan asin, sambal gepeng, tempe bacem, ayam goreng, telur rebus disiapkan. Berbagai sayuran sebagai pelengkap dihidangkan saat wiwitan digelar. Setelah prosesi wiwitan dilakukan pada sejumlah titik pada lahan sawah, doa ungkapan syukur dipanjatkan.
“Doa secara Kristiani pada tradisi wiwitan menjadi bagian dari inkulturasi budaya dan religi dengan tanpa mengurangi makna syukur petani,” ulasnya.
Setelah doa didaraskan, hidangan bisa disantap. Racikan menu saat tradisi wiwitan sebut Tini akan diberikan dalam wadah daun pisang. Warga yang diundang akan makan bersama di atas gubuk pada tengah sawah.
Makan di tengah sawah sebutnya sebagai ungkapan syukur atas hasil sawah yang menjadi makanan. Sebagian makanan dibugkus daun pisang untuk dibagikan kepada kerabat.
Atin dan Suyatinah, warga yang diundang wiwitan mengaku tradisi tersebut mulai luntur. Hanya sejumlah petani yang masih mempertahankan wiwitan sebagai ungkapan syukur petani.
Atin yang berasal dari Jawa Tengah mengaku ia terakhir bisa menikmati wiwitan saat berada di pulau Jawa. Melihat prosesi wiwitan sekaligus menjadi pengingat untuk bersyukur atas limpahan hasil panen.