Sambil tersenyum kecil, aku mengambil kursi guru dan mempersilakan tamu tersebut untuk duduk.
“Kelas ini jarang sekali memiliki formasi duduk yang rapi, kami terbiasa mengubahnya setiap hari, silakan,” ucapku pelan sambil memberikan kursi tersebut.
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Kulihat matanya memandang foto hitam-putih tersebut. Dari raut wajahnya sangat tampak bahwa ia sedang merenung.
Yang aku tahu, terakhir kali aku bertemu langsung dengannya ketika ia tidak memiliki uang untuk membayar ojek yang disewanya.
Dalam perjalanan dari bandara Adisutjipto, ia kebingungan dan meminta bantuan melalui chat grup. Aku, yang kebetulan ngekos di dekat sekolah, menganjurkannya untuk mampir.
Ternyata, ia dan si tukang ojek sama sekali tidak berunding untuk tawar-menawar di awal perjalanan sehingga keduanya kebingungan saat saya tanya mengenai biayanya. Akhirnya saya mengeluarkan dua puluh ribu untuk si tukang ojek dan ia kemudian pergi.
Kemudian, aku persilakan temanku masuk dan aku perkenalkan ia dengan abangku, yang pada waktu itu sekamar denganku. Setelahnya, aku ajak ia makan di warung terdekat. Aku hadiahkan pula ia sebungkus rokok, hadiah dari seseorang yang tidak merokok.
Menjelang pergantian hari, barulah ia aku antar pulang. Entah kenapa, cuaca saat itu begitu dingin. Aku menggigil sepanjang jalan, ia yang menyadari hal itu menjadi kebingungan apakah akan melaju dengan kencang atau justru pelan-pelan.
Sesampainya di depan rumahnya, ia menyuruhku menunggu sebentar. Tidak aku sangka, ia ternyata membawakan jaket untuk aku pinjam agar aku tidak kedinginan di jalan. Jaket tersebut menjadi benda terakhir yang aku pinjam darinya.