Upacara Adat di Desa Saya

CERPEN ARIS KURNIAWAN

“Banyak adat lama yang tidak efisien bahkan dianggap keji bila dilihat dari peradaban modern sekarang,” kata teman saya, terdengar bijaksana.

Di India, kata teman saya, dulu ada Sati, adat yang meminta seorang istri terjun ke dalam tungku api pembakaran jasad suaminya yang meninggal.

Pemerintah Kolonial Inggris kemudian melarangnya karena dianggap kejam terhadap perempuan. Saya tidak tahu apakah Sati sudah benar-benar hilang di India.

Saya juga tidak tahu mengapa dulu Kolonial Belanda tak melarang adat di desa saya. Menurut orang-orang tua hal itu karena adat itu hanya ada di desa saya yang berada jauh dari jangkauan pemerintah kolonial.

Saya pernah bertanya kepada tetua adat, kenapa dan sejak kapan adat itu berjalan. Tetapi dia tidak menjawab, hanya berucap bahwa itu cara hidup berdampingan dengan alam.

“Jumlah kita yang terlalu banyak akan menyiksa alam,” katanya.

Adat lama di desa saya sudah lama tidak dilaksanakan, bukan karena masyarakat desa saya menganggapnya keji atau tidak efisien. Melainkan karena tak ada prasyarat yang mengharuskan dilaksanakannya adat lama tersebut.

Penduduk desa saya selalu genap 400 orang. Adat lama itu terakhir dilaksanakan sekitar setahun yang lalu, ketika empat orang penduduk desa saya mati mendadak gara-gara makan jamur beracun.

Hanya ada dua orang bayi yang lahir di desa saya. Dua bayi yang lain yang mestinya menggenapi jumlah warga desa saya, mati begitu dilahirkan. Seluruh warga desa berkabung.

Akhirnya pada bulan kedua, tetua adat mengambil seekor monyet dan anjing sebagai penduduk desa untuk menggenapi jumlah penduduk desa saya mejadi 400 orang.

Lihat juga...