Penduduk yang menghuni desa saya jumlahnya sedikit dibanding desa-desa lain di sekitarnya. Sebanyak persis 100 kepala keluarga, dengan jumlah anggota keluarga masing-masing empat orang.
Rumah mereka menyebar di lereng perbukitan dekat sungai. Jumlahnya sejak ratusan tahun yang lalu tak pernah bertambah maupun berkurang. Kalau ada bayi lahir, maka akan ada warga desa saya yang mati.
Begitu juga sebaliknya, bila ada penduduk yang mati, esoknya ada perempuan desa saya yang melahirkan. Paling lama satu purnama jumlah penduduk desa saya tidak genap 400 jiwa.
Bila lebih dari satu purnama jumlah penduduk desa saya kurang dari 400 jiwa, maka penduduk desa saya akan melaksanakan adat lama itu.
Tetua adat desa saya akan mengambil hewan seperti monyet atau anjing atau kucing menjadi warga desa melalui sebuah upacara tertentu yang sangat unik dan menarik bagi teman saya. Tetapi bila jumlahnya lebih, maka penduduk desa saya dipimpin tetua adat akan melaksanakan upacara adat yang membuat teman saya menjerit syok, lalu pingsan.
Saya tak pernah menceritakan tentang adat lama desa saya kepada siapa pun di kampus. Bukan karena tak akan ada yang percaya, melainkan memang tak perlu diceritakan.
Dulu pernah ada orang luar yang menyaksikan upacara adat desa saya. Sepulang dari desa saya, dia diserang demam tinggi, mengigau, sebelum mati beberapa hari kemudian. Seorang yang lain tidak sampai mati, tapi bicaranya jadi gagap akut, kemudian linglung sampai akhir hayatnya.
Namun suatu hari seorang teman di kampus menanyakan kebenaran tentang adat di desa saya itu. Entah dari mana dia tahu.
Dia sangat penasaran dan berminat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, apa pun risikonya. Nada bicara teman saya bernada sinis dan menganggap risiko yang bakal dialami adalah mitos belaka.