Mereka baru berhenti ketika gonggongan anjing terdengar dari suatu rumah. Tubuh lelaki itu penuh luka dan berdarah-darah. Seseorang memeriksa denyut nadi dan detak jantung lelaki itu.
Ia sudah mati. Dari dua rumah yang berbeda, Bu Ros dan Feni keluar. Mereka bertanya-tanya apa pasal gang rumah mereka berisik malam-malam begini.
Saat keduanya mendapati jasad seorang lelaki yang teramat mereka kenal terbujur di jalanan tanpa nyawa, mereka terbelalak.
Bu Ros hanya terbelalak. Feni terbelalak dan pingsan.
“Madi mati,” ucap Bu Ros pelan. Ia sepertinya sedih. Sedih sekali. ***
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan Prodi Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com.
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.