Madi

CERPEN ERWIN SETIA

Namun, ia lebih banyak menerima penolakan dan permintaan maaf yang sama sekali tak mengubah hidupnya. Di beberapa tempat, ia memang sempat dipekerjakan, tapi hanya bertahan satu-dua hari karena beragam sebab.

Entah si pemilik bangunan yang tiba-tiba menghentikan, sang mandor yang menyuruhnya tak bekerja lagi, atau memang pengerjaan sudah rampung.

Suatu kali, di suatu tempat yang agak jauh dari rumahnya ia bekerja dimandori seorang lelaki gempal-berkumis yang wajahnya terlihat sangat menyebalkan. Ia juga hanya bekerja beberapa hari di situ.

Saat waktu gajian tiba, tiba-tiba si mandor menghilang dengan membawa kabur uang gaji miliknya dan beberapa pekerja lainnya.

Sementara itu, kebutuhan rumah tangga tak bisa diajak kompromi. Istrinya secara rutin merengut dan mengeluhkan macam-macam. Mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai persiapan biaya sekolah Deji.

Tidak ada lagi kopi terlezat di dunia. Tidak ada lagi pelukan dan ciuman. Sedangkan persenggamaan suami-istri, ia bahkan sudah hampir lupa rasanya.

Tuntutan hidup membuatnya tak bisa memikirkan apa-apa selain memikirkan cara untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan secepat-cepatnya. Anak-anaknya juga menjadi lebih sering menangis.

Ia kesal sekaligus iba kepada sepasang buah hatinya itu. Menatap anak-anak yang masih mungil tapi sudah harus merasakan dampak kerasnya kehidupan itu, Madi teringat kepada perkataan orang tuanya dahulu.

“Banyak anak, banyak rezeki,” kata mereka. Madi mengingatnya dengan kecut dan ingin sekali rasanya ia mendaftarkan kata-kata itu sebagai salah satu kebohongan terbesar di dunia.

Seolah bersengkokol dengan istri dan anak-anaknya untuk membuatnya mati sakit kepala, Bu Ros mendatangi rumahnya setiap beberapa hari sekali.

Lihat juga...