Dua orang anaknya, Deji yang sebentar lagi masuk SD dan Alena yang baru pandai berjalan masih tidur di kamar. Hari belum terlalu panas. Madi menumpangi bus yang berangkat paling pagi karena ia sudah tak sabar untuk pulang ke rumah.
Bus itu penuh sesak. Madi tak heran. Sebab saat itu memang waktunya liburan sekolah sehingga bus-bus selalu ramai—tak kenal pagi atau pun malam.
“Bagaimana, Mas?” tanya Feni. Pertanyaan Feni itu bermakna dua hal: bagaimana kabarmu dan bagaimana kabar pekerjaanmu—makna kedua ini menyangkut juga soal gaji.
“Baik,” kata Madi seraya menyeruput kopinya sekali lagi.
Ia memeriksa saku jinsnya. Ia memeriksa saku kiri—yang tadi dilihat Feni dan disangkanya adalah dompet tebal milik Madi—dan mengeluarkan ponselnya. Ia memeriksa saku kanan dan tak mengeluarkan apa-apa.
Ia mengulang-ulangi pemeriksaan itu. Ia juga mengecek saku belakang jinsnya, saku kemejanya, tas besarnya, dan kantong-kantong belanjaannya.
Berkali-kali Madi melakukan hal itu sampai kemudian ia berhenti dan menghadap Feni dengan muka kaku dan melambangkan kepanikan tingkat tinggi.
“Dompetku hilang,” ujar Madi lemah.
Wajah Feni yang sebelumnya memasang senyum yang seolah abadi mendadak ciut. Pandangannya hampa. Mulutnya terkunci. Madi mengumpat-umpat dengan suara pelan. Kemudian keduanya membisu.
Beberapa saat berlalu, Bu Ros—pemilik kontrakan—datang dan tanpa tedeng aling-aling menagih uang kontrakan.
“Wah, kebetulan Mas Madi sudah pulang. Bawa banyak belanjaan pula. Pastinya sudah siap bayar kontrakan juga, kan?”
Madi dan Feni berpandangan. Keduanya menoleh ke arah Bu Ros yang berdiri sambil senyam-senyum. Madi menceritakan segalanya. Ketika ceritanya selesai, Bu Ros berteriak dan marah-marah.
***
DUA bulan belakangan Madi berkeliling ke mana-mana, menanyakan lowongan saban dilihatnya sebuah rumah atau gedung sedang dibangun.