Madi

CERPEN ERWIN SETIA

Perempuan paruh baya itu menagih uang kontrakan sambil terus-menerus memperingatkan, “Sebentar lagi sudah mau dua bulan, loh.”

Ia mengatakan itu semenjak tiga hari setelah peristiwa hilangnya dompet Madi sampai tiga hari sebelum bulan kedua betul-betul jatuh tempo.

Bukan hanya kesulitan mencari pekerjaan, seiring waktu membeli beras dan bahan masakan pun menjadi sesulit membeli berlian bagi Madi. Istrinya melulu tampak kuyu. Sementara anak-anaknya semakin kurus dan gampang menangis.

Madi dan Feni juga jadi lebih kerap bertengkar. Siang dan malam. Masalah ekonomi membuat mereka lupa dan tak peduli bahwa pada suatu waktu di masa silam mereka hampir tiap hari mengucapkan cinta seolah-olah cinta dapat menyelesaikan segalanya.

Orang-orang di sekitar Madi, para tetangga dan sanak saudara hanya bisa menonton kesusahan hidup Madi sambil diam-diam menggunjinginya di belakang. Tak sekalipun Madi dan Feni—meskipun keduanya juga tak mengharapkan belas kasihan mereka—mendapati sebentuk kepedulian dari mereka.

Ia seolah hidup sendirian di muka bumi. Tanpa tetangga, tanpa saudara, tanpa orang lain yang mau menyisihkan waktu untuk menunjukkan sikap respek kepada keluarga kecilnya.

Waktu terus berputar tanpa menghiraukan seorang anak manusia—dan banyak anak manusia lainnya di semesta ini—tengah kelimpungan memikirkan apakah hari esok perutnya dan perut istri serta anaknya masih bisa terisi atau tidak.

Matahari terus bersinar, tapi Madi sudah lama merasa cahaya mentari sia-sia belaka. Ia merasakan hidupnya begitu gelap, bagai terkurung dalam suatu ruangan jeruji raksasa yang tak memiliki lubang udara melainkan sebuah bolongan kecil saja yang terletak di ujung ruangan.
***
PAGI itu, Madi duduk di teras rumah tanpa kudapan ataupun kopi di sebelahnya. Ia memandangi suasana di luar rumahnya yang sepi.

Lihat juga...