Cerita Seekor Babi
CERPEN AFRI MELDAM
“Coba kau perhatikan!” Ia menyeret babi sekarat itu ke tepian sungai. Tubuh babi itu sepenuhnya kelabu bermandi lumpur. Aku yakin binatang itu pasti sedang menangis.
Ia menghentakkan kakinya dengan lemah berkali-kali. “Sekarang kau lakukan apa yang tadi kubilang. Awas kalau tanganmu menggigil lagi!”
Aku membayangkan hal-hal menyenangkan, mencoba menguatkan hatiku. Di saat-saat seperti ini, seperti yang sudah-sudah, aku suka membayangkan ibuku duduk di depan tungku, dengan rambut panjangnya yang disanggul, memasak sup ikan baung kesukaanku.
Sup baung yang hanya dibumbui dengan bawang putih, bawang merah, sejumput cabai, dan daun kunyit. Tapi rasanya enak sekali!
Bahkan, bertahun-tahun sejak kepergian beliau, aku masih bisa mencium harum sup ikan yang masih mengepulkan asap itu. Ah…
Demi mengingat Ibu, mataku tiba-tiba terasa perih. Ada cairan hangat yang kemudian jatuh dari sana.
Tapi aku mendengar mulut tajam laki-laki itu mengiris telingaku. “Belah perut babi itu, tolol! Buraikan isi perutnya! Aku membawamu ke sini bukan untuk menangis!”
Wajah Ibu terus berkelebat. Kulihat ia tersenyum sambil memegang tanganku. Ia dengan lembut menyuruhku memasukkan ikan-ikan baung yang sudah dicuci bersih ke dalam kuali.
Air yang menggelegak menguarkan aroma bawang dan kunyit, yang sebentar lagi tentu akan berbaur dengan manis daging ikan baung. Ibu mempersilakanku mengaduk sup ikan baung.
“Kau jaga apinya agar tetap besar. Dan jangan biarkan daging baung pecah,” ujarnya sambil mengusap lembut kepalaku.
“Hoi! Apa kau ingin kakiku bersarang di kepala dungumu itu?! Berhenti menangis!”
Aku terkesiap, buru-buru menghapus lelehan air mata yang jatuh ke pipi. Wajah Ibu hilang sudah. Di depanku, laki-laki tua bergigi sehitam jelaga tengah menatapku seperti seekor harimau kelaparan.