Cerita Seekor Babi
CERPEN AFRI MELDAM
Aku bukan pencari jejak sepertinya, yang hanya dengan melihat bekas gigitan rusa pada pucuk daun dan menghidu angin, akan bisa memastikan ke mana binatang buruan itu bergerak.
Melihatku yang hanya berdiri diam sambil memegang parang, ia kembali menghardikku. “Tunggu! Apa yang kau tunggu di sana, he?” sepotong ranting melayang dan hinggap di kepalaku.
Aku berjalan ke arahnya seperti seekor anak kijang yang baru belajar mengikuti kawanan, agak tergopoh dan hampir saja terjatuh.
Ia lalu menyeretku mendekat ke arah babi bunting yang tengah sekarat itu. Kulihat kedua mata babi betina itu berkaca-kaca, seakan memohon belas ampun. Anjing-anjing terus menyalak tanpa henti.
Begitu laki-laki itu memegang kedua kakinya, binatang malang itu hanya bisa menguik lemah. “Sekarang tunjukkan padaku kalau kau anakku. Belah perut babi ini!”
Aku mendekat, tapi sialnya aku tetap tak bisa menahan sedikit saja rasa ibaku. Tanganku gemetar. Jari-jemariku mendadak menjadi sangat licin, dan parang di genggamanku terasa sangat berat.
Di saat yang bersamaan kurasakan ada sesuatu yang seolah ingin segera keluar dari perutku. Tapi aku menguatkan diriku sendiri. Bahwa ini akan menjadi ujian terakhirku, dan jika aku berhasil melewatinya dengan gemilang, laki-laki bermulut parang itu tentu tak akan membenciku lagi.
Atau paling tidak ia bisa melihat keinginanku untuk belajar, seperti yang selama ini ia keluhkan terhadapku.
Tapi, demi melihat tanganku gemetar, mulut bau bangkainya kembali mengeluarkan kata-kata yang menyesaki gendang telingaku.
“Dasar penakut! Itu saja kau gemetar! Potong saja burungmu!” Tubuh gempalnya, yang juga bau, mendorongku. Kepalaku nyaris menghantam bebatuan di pinggir sungai.