Cerita Seekor Babi
CERPEN AFRI MELDAM
Laki-laki itu melampiaskan amarahnya dengan kata-kata kotor yang ia alamatkan padaku.
“Aku tahu, kau takut dengan darah! Kau tak berani melihat babi itu meregang nyawa di depanmu. Kau takut ini-itu! Ibumu pasti menyesal telah melahirkanmu! Anak siapa kau sebenarnya, ha? Kau tahu, seusiamu ini, dulu, aku sudah membunuh puluhan binatang!”
***
BABI bunting itu kini tak bisa berbuat apa-apa. Ia terengah-engah di kubangan lumpur.
“Ambil parang itu!” Ia menghardikku dengan sekeras mungkin suara yang bisa ia keluarkan dari rongga mulutnya yang busuk.
Entah apa yang dimakan laki-laki itu selain makanan yang kami makan bersama-sama di rumah. Bau mulutnya tak pernah membuatku nyaman. Begitu juga dengan kata-kata yang keluar dari sana.
Aku mengutuk dalam hati, tapi mau apa. Aku tak punya pilihan selain menuruti perintahnya. Parang yang masih berdiam dalam sarungnya itu kemudian kusorongkan ke arahnya.
“Ini..” Aku mencoba merendahkan suaraku selembut mungkin, berharap ia bisa sedikit memperlakukanku lebih baik.
Ia merenggut parang itu dariku, lalu melemparkannya dengan kasar. “Kau buka sarungnya, bodoh!” kata-kata yang meluncur dari mulutnya kuyakin juga telah ia asah setiap kali ia mengasah parangnya.
Aku, sekali lagi – atau lebih tepatnya, seperti yang selalu kulakukan – manut, memungut parang itu dengan penuh kehati-hatian.
Memegang hulunya yang berukir, aku kemudian menarik parang panjang itu dari sarungnya. Kilatan cahaya matahari memantul dari ujungnya yang runcing. Kucium bau batu asahan dari bilah besi itu.
Aku benar-benar tak tahu apa yang diinginkan laki-laki itu. Ia memberikan perintah sepotong-sepotong, tanpa berusaha memahami bahwa aku tak pintar membaca keinginannya.