Cerita Seekor Babi
CERPEN AFRI MELDAM
Aku tak sepenuhnya ingin menyaksikan pemandangan mengerikan di depanku dan tak habis pikir kenapa tak ada seorang pun yang menaruh belas kasihan pada babi yang tengah mengandung itu. Bukankah tadi tujuan mereka adalah menapaki jejak seekor kijang yang ditemukan di kaki ladang gambir?
Lalu kenapa begitu melihat babi betina bunting mereka tiba-tiba melepas tali anjing masing-masing dan memburunya sampai mampus?
Tentu saja anjingku ingin bergabung bersama teman-temannya di bawah sana. Meski sekuat tenaga ia berontak, aku tak berniat melepaskan rantai yang melilit leher anjingku. Sama sekali.
Aku kemudian berjalan mendekati Ayah, si pembaca jejak kijang yang berdiri menyaksikan teman-teman pemburunya bersorak-sorai.
“Apa kita akan melanjutkan perburuan kijang?” tanyaku.
Namun, tanpa kuduga sama sekali, laki-laki itu melepaskan sebuah tendangan ke pinggang anjing yang kubawa. “Buat apa kau membawa anjing ini kalau hanya untuk diikat sepanjang hari?!”
Anjing itu terkaing, lalu menarikku menjauh dari sana.
“Ia tak boleh makan daging babi bunting itu! ” aku mencoba memberikan pembelaan. “Lagi pula, Ayah mengajakku menapak jejak kijang, bukan berburu babi.”
Ia membuang muka, lalu meludah. “Tahu apa kau soal berburu, ha? Mengejar babi bunting saja kau jauh tertinggal di belakang. Memalukan!”
Kuakui aku tak bisa mengikuti lari pemburu lainnya. Beberapa kali aku terpaksa berhenti karena kehabisan napas. Namun, itu tak sepenuhnya kesalahanku.
Anjing yang kubawa juga agak susah diatur. Ia berkali-kali memilih jalan yang salah, yang membuatku harus menunggu agak lama.
Demi melihat gelagatnya yang sedang tidak baik, aku memilih diam. Kami jelas telah kehilangan jejak kijang yang tadi kami buru. Angin berputar entah ke mana, sementara dedaunan kering yang berjatuhan di sepanjang jalan telah mengaburkan jejak binatang buruan.