Pertanyaannya, mengapa kita masih tampak kompak satu suara menyebut sumber hukum utama bangsa ini yang sudah dibongkar—tetap menyebutnya sebagai UUD 1945? Sulit menemukan jawabannya. Akan tetapi, jika merujuk pada Sumpah Prajurit yang pertama, di mana disebut: setia kepada UUD 1945, maka, jika disebut dengan UUD 2002— apakah para prajurit masih harus tetap setia?
UUD 1945 yang terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 65 ayat, diubah menjadi UUD 2002 yang terdiri dari 21 bab, 37 pasal, 170 ayat. Akibatnya antara lain: Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi (pasal 1, ayat 2, UUD 1945) yang memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6, ayat 2, UUD 1945) serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (pasal 3, UUD 1945) —didegradasi stratanya menjadi lembaga tinggi, sejajar dengan lembaga tinggi lainnya (MK, MA).
MPR tidak lagi memiliki kewenangan memilih presiden dan wakil presiden karena dipilih langsung oleh rakyat (pasal 6A, ayat 1, UUD 2002). Dan MPR tidak lagi membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di mana Presiden sebagai Mandataris MPR menjalankannya, dan mempertanggungjawabkan pada akhir masa jabatan.
Dalam UUD 1945, kewajiban Presiden sebagai Mandataris MPR adalah melaksanakan GBHN yang dibuat oleh MPR sebagai representasi perwakilan seluruh Rakyat Indonesia. Dengan tidak adanya GBHN, maka yang berlaku sekarang adalah, Presiden menjalankan visinya, dan setiap presiden memiliki visi sesuai seleranya masing-masing, serta tidak perlu diminta pertanggungjawaban.
Dalam pasal 6A, ayat 2, UUD 2002, calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun turunan dari pasal ini yaitu Undang-undang no 7, tahun 2017, pasal 222, tertulis; Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.