Sang cucu sejak bayi telah ditinggal mati oleh ibunya. Sedangkan bapaknya, entah di mana tidak diketahui rimbanya. Hanya sang cuculah satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Nenek Sarminah berteman dekat dengan Bu Surtini. Tak tega berburuk sangka pada seseorang yang punya nasib sama seperti dirinya. Lagi pula, Bu Surtini adalah orang baik dan selalu membantunya.
Orang yang paling miskin memang sering jadi bulan-bulanan ketika ada orang yang kehilangan. Begitu pun dengan Nenek Sarminah, sering difitnah warga ketika ada warga yang kehilangan buah nangka atau cabai di kebunnya. Entah mengapa orang-orang selalu merasa curiga pada orang miskin.
“Makanya ayamnya dikurung saja Mbah, Pak Kades kan sudah mengatakannya tempo hari,” ungkap Bu Dawuh dengan sedikit ketus. Alasan yang sama ketika Bu Suwarni mengomeli karena ayam-ayamnya.
“Iya, Mbah, mengapa pula ayam-ayammu dilepas?” Bu Suwarni ikut berkomentar, menjadi sekutu Bu Dawuh seolah lupa mereka pernah berselisih karena alasan yang sama.
“Biasanya ayam-ayam Mbah Sarminah tidak pernah bermain jauh, apalagi ke beranda orang.” Bu Lastri tetangganya mencoba membela.
Rumah nenek Sarminah memang sedikit jauh dari rumah-rumah tetangganya. Oleh karena itu, ayam-ayamnya memang sangat jarang pergi ke beranda rumah orang lain. Gubuk kecil itu terisolasi dari rumah-rumah penduduk desa. Namun, rumah Pak Kades dan Bu Lastri cukup nampak dari berandanya, cukup dekat dengan rumahnya.
“Ayam itu binatang Bu Lastri, tidak ada jaminan untuk tetap berada di sekitar rumah Mbah Sarminah.” Bu Dawuh masih tetap bersikukuh dengan asumsinya yang memojokkan kesalahan pada nenek Sarminah.