“Jika benar, lalu kita akan berpihak pada siapa?” tanya Anggit.
“Jangan gegabah. Kita harus tanya Kang Wanggi,” kata Braja.
“Ya benar. Kang Wanggi yang berhak menentukan,” kata Widaga.
Esok harinya sengaja Braja, Widaga, Anggit dan Dasih menghadap Wanggi, mengabarkan berita yang mereka dapatkan semalam, sekaligus menanyakan pihak mana yang akan mereka bela.
Mendengar cerita dan pertanyaan mereka Wanggi tak langsung menanggapi. Dia justru kembali menngisahkan tentang jati diri Aryasuta dan makna kematiannya. Wanggi juga menjelaskan kembali alasan mengapa mereka mendirikan padepokan di dekat makam Aryasuta.
Wanggi juga mengatakan bahwa prinsip Aryasuta yang berjuang tanpa pamrih telah Wanggi tentukan menjadi semboyan mereka.
Ketika Wanggi mengatakan semua itu anak buahnya belum juga mengerti. Lalu mereka menanyakan lagi siapa yang akan mereka bela. Dengan tegas Wanggi mengatakan bahwa mereka tidak akan membela keduanya.
Bagi Wanggi keduanya tidak ada yang seikhlas Aryasuta. Karena itu prinsip Aryasutalah yang akan mereka jadikan pegangan. Nusantaralah yang mereka perjuangkan, dan Singensumonar menjadi doa dan awal dari segala harapan. ***
Yuditeha, pegiat Komunitas Sastra ‘Kamar Kata’ Karanganyar, Jawa Tengah. Buku terbarunya Sehimpun Cerita Filosofi Perempuan dan Makna Bom (Rua Aksara, 2020).
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.