Singensumonar

CERPEN YUDITEHA

Di sebuah warung, di ujung barat Desa Tangen. Di kaki Gunung Banyak, Braja, Widaga, Anggit dan Dasih sedang bercakap-cakap dengan kedua pedagang itu.

“Raden Mas Said menggugat. Dia ngerek (menaikkan) bendera melawan kompeni,” kata pedagang rempah.

“Bukan cuma itu,” kata pedagang kain.

“Maksudmu?” tanya Braja.

“Tidak hanya menggugat kompeni tapi juga tabiat raja-raja,” jawab pedagang kain.

“Aku durung  (belum) jelas. Maksudnya tabiat raja, gimana?” sela Yu Karmi, penjual warung.

“Dia tidak hanya memerangi kompeni, tapi dia juga tidak mau bergabung dengan kaum bangsawan yang jadi anteknya kompeni, termasuk Paku Buwana II.”

“O, gitu.”

“Keputusan itu dilatarbelakangi penderitaan hidupnya,” kata pedagang rempah.

“Memangnya ada apa dengan masa lalunya?” tanya Anggit.

“Di usia tiga tahun ibunya meninggal. Ayahnya jadi pesakitan karena disia-siakan Paku Buwana II, bahkan akhirnya dibuang ke Sri Langka sampai mati,” jawab pedagang rempah.

“Setelah dewasa dia baru sadar sebagian besar nasibnya buruk akibat perlakuan tidak adil itu,” tambah pedagang kain.

“Karena itu dia pergi dari istana?” tanya Anggit.

Widaga menyela, dia mengatakan sebenarnya Raden Mas Said diusir Paku Buwana II. Menurut kabar ketika belum mempunyai banyak pendukung, dia terang-terangan berani menunjukkan sikap tidak setujunya dengan kebijakan-kebijakan Paku Buwana II, terkhusus masalah kompeni.

Raden Mas Said menilai Paku Buwana II terlalu kompromi dengan kompeni. Paku Buwana II tersinggung, lalu menyuruh Pangeran Mangkubumi yang pada saat itu dekat dengannya untuk mengenyahkan Raden Mas Said.

Begitu titah ditangkap oleh Pangeran Mangkubumi, tanpa berpikir panjang, dia langsung menjalankan perintah itu. Terlebih adanya janji dari Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi, jika Pangeran Mangkubumi berhasil melenyapkan Raden Mas Said, dia akan diberi tlatah  (daerah) Bumi Sukawati.

Lihat juga...