Maka yang dilakukan pertama kali oleh Panglima Kostrad adalah melemahkan kekuatan pasukan lawan. Dua batalyon pasukan Gerakan 30 September yaitu Batalyon 454 dan Batalyon 530 yang berada di sekitar lapangan Monas harus dinetralisir. Untuk itu ditugaskan Brigjen Sabirin Mochtar, mantan Komandan Batalyon 530, dan Letkol Ali Murtopo mantan Komandan Batalyon 454, mereka berdua diperintahkan untuk menghubungi kedua Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas itu untuk menghadap ke Kostrad.
Menjinakkan Pasukan Pemberontak
Ternyata kedua Komandan Batalyon tidak berada di tempat — kemudian diketahui bahwa kedua komandan itu berada di Senko I gedung Penas. Bersama Brigjen Supardjo dan Letkol Heru Atmodjo, kedua komandan batalyon itu ikut berangkat menuju Istana untuk menemui Presiden Soekarno namun tidak berjumpa karena Presiden tidak ada di Istana.
Selanjutnya Wakil Komandan Batalyon yang diajak menghadap Panglima Kostrad dan oleh Panglima ditanyakan maksud keberadaan pasukan mereka di sekitar Monas. Dijawab bahwa pasukan itu untuk mengamankan Presiden Soekarno dari kup Dewan Jenderal.
Dijelaskan oleh Pak Harto bahwa itu semua tidak betul. Presiden Soekarno tidak ada di Istana, silakan dicek. Dijelaskan juga bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada adalah Wanjakti (Dewan Jabatan Tinggi), dan tidak mungkin akan melakukan kup.
“Saya sendiri anggota Wanjakti”, kata Pak Harto. “Saya mengetahui betul gerakan Untung ini pasti didalangi PKI. Ini merupakan pemberontakan. Saya memutuskan untuk menghadapinya. Sampaikan saran saya ini kepada seluruh anggota kesatuanmu, agar segera bergabung ke Kostrad. Kalau tidak, dengan sendirinya kalian akan berhadapan dengan saya. Juga sampaikan kepada komandan batalyonmu. Saya beri waktu sampai pukul enam sore. Kalau sampai pukul enam sore nanti tidak segera kembali ke Kostrad, berarti kalian sudah berhadapan dengan pasukan saya,” pungkas Pak Harto dalam buku Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya oleh G Dwipayan dan Ramadhan KH.