Dengan ditetapkannya Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat, secara formal Gerakan 30 September berhasil memperolah Panglima Angkatan Darat sesuai dengan yang mereka kehendaki.
Terjadi pertarungan strategi antara “kubu Kostrad” versus “kubu Halim”. Hampir semua senior Angkatan Darat yang tersisa berkumpul di Kostrad. Ajudan Presiden Soekarno, Kolonel Bambang Wijanarko ikut menyaksikan kosentrasi pasukan yang berkumpul di Kostrad dan ikut merasakan ketegangan yang terjadi.
Ajudan Presiden menyampaikan bahwa kedatangannya ke Kostrad untuk menjemput Mayor Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat untuk dibawa ke Halim bergabung dengan Presiden.
Dari sejak siang pemanggilan Pranoto dan Pangdam V Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusuma untuk datang ke Halim tidak diizinkan oleh Pak Harto. Hari itu Angkatan Darat telah kehilangan enam jenderal maka dua jenderal yang dipanggil itu tidak diperkenankan ke Halim karena situasi pada waktu itu serba tidak jelas, apakah Presiden Soekarno di Halim dalam posisi tersandera atau tidak. Pak Harto tidak mau mengambil risiko.
Lalu Nasution sebagai yang paling senior di Angkatan Darat mengatakan pada Ajudan Presiden, “Kami tidak menolak order Presiden, tapi order itu belum bisa dilakukan. Jenderal Soeharto sedang memimpin operasi dan tentulah tidak bisa ia diberhentikan begitu saja. Ini adalah urusan teknis militer yang kami hadapi. Urusan politik terserah Oude heer (bapak),” tandas Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6 oleh AH Nasution.
Nasution adalah orang kedua yang menyandang pangkat jenderal bintang empat setelah Jenderal Soedirman, hari itu ia begitu terpukul karena anaknya ditembak dan ajudannya diculik oleh gerombolan Gerakan 30 September. [Bersambung] ***