Singkat cerita, berdasarkan dalil sosial yang bernama counter culture ini, saya ingin mengingatkan pemerintah agar tidak mengeluarkan ‘sinyal’ menampakkan impuls yang berlebihan. Sebagai contoh yang terjadi dewasa ini. Pemerintah lewat Menteri Agama terpancing impulsnya untuk ‘menyerang’ kelompok yang berhijab.
Alih-alih kelompok ini akan menyerah atau mentaati, malah mereka akan semakin ketat melakukan budaya melawan. Terlebih lagi jika apa yang mereka lakukan itu dilandasi oleh keyakinan agama yang dipegangnya.
Secara sosiologis bisa dipastikan Menteri Agama tidak akan berhasil, kecuali dengan tindakan memaksa melalui kursivitas politik dengan membuat UU pelarangan dan sanksi yang keras. Tentu saja jika ini dilakukan, pemerintah akan terus menerus melakukan budaya melawan dan akan terus menerus juga memproduksi budaya menentang dari kelompok masyarakat. Mungkin tadinya hanya dipraktikkan oleh sekelompok minoritas, tetapi jika terus dilawan, maka budaya menentang terhadap pemerintah akan menjadi milik mayoritas.
Saya merenung jauh ke masa penjajahan. Mengapa justru Belanda lebih ‘arif’ bertindak kepada agama? Karena mereka paham akan budaya setempat. Itulah kebanyakan para residen ditempatkan pejabat-pejabat yang mengerti psikologi sosial dan sistem nilai sosial budaya setempat. Banyak para residen adalah para antropolog, sosiolog dan psikolog atau sejarawan.
Mungkin karena itu Belanda ‘awet’ menjajah kita selama sekian abad. Sementara pemerintah kita sendiri jatuh bangun, apalagi para sang menterinya. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc., Rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB)