ADA konsep dalam Sosiologi yang disebut ‘counter culture’. Kita terjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘budaya melawan’ atau ‘budaya menentang’. Kata budaya dalam konteks ini menunjukkan kepada sikap sosial (yang seterusnya akan ditunjukkan dengan perilaku sosial) untuk melawan atau menentang.
Disebut budaya karena secara potensial telah terbentuk sistem nilai yang digunakan secara sistemik oleh sekelompok masyarakat. jika dirasakan ada ‘aksi’ yang mengganggu sistem nilai yang dipegang atau yang dianutnya itu, maka sistem nilainya itu akan mengeluarkan impuls untuk melawan atau menentang.
Contohnya begini. Jika suatu kelompok masyarakat (secara sadar atau di luar kesadaran) mengembangkan budaya Barat yang berlebihan. Misalnya memakai pakaian mini, terbuka, tanktop, dan sebagainya, maka kelompok yang memiliki budaya sebaliknya (tertutup, jubah panjang, berjilbab, dan sebagainya) akan terdorong impuls sosialnya untuk melawan atau menentang.
Salah satu cara penentangan itu yang ‘tersamar’ dan halus, tidak dalam kekerasan adalah dengan cara mengoptimalkan cara berpakaian. Kelompok ini akan lebih menguatkan cara berpakaian mereka. Yang tadinya ‘hanya’ berjilbab yang tampak wajah dan kedua telapak tangan, kemudian meningkatkan ‘tensi’-nya dengan menutup wajah yang hanya tampak mata saja.
Sebaliknya, kelompok masyarakat yang terbuka cara berpakaian mereka tadi akan terpancing impulsnya untuk melawan. Mereka akan tambah membuka lebih vulgar lagi, seakan-akan ingin mengatakan “inilah kami, Anda mau apa?”
Jika impuls pihak yang berpakaian lebih tertutup tadi terpancing pula untuk merespon, maka mereka akan lebih memperketat lagi cara berpakaian mereka. Jadi ada semacam perilaku balas membalas akibat ‘demonstration effects’ dari pihak lain.