Kebahagiaan dalam Sekerat Kecil Rendang Daging

CERPEN NEVATUHELLA

DULU kebahagiaan murah sekali. Kalau umpamanya berjarak, bisa diraih dengan tangan. Makan malam sering diselesaikan berlauk sekerat kecil rendang daging.

Ayah membelinya di warung nasi padang––becak dayung yang ditumpangi ayah menuju rumah minta berhenti sebentar––ketika melintas menuju rumah. Ibu membagi dua potong rendang yang dibeli ayah menjadi sebelas bagian, kecil-kecil sekali.

Sepotong daging bagi seribu, kami menyebut potongan daging begitu, teringat bait puisi Chairil yang aku ingin hidup seribu tahun lagi, yang aku dan dua kakakku sudah hafal luar kepala seluruh isi puisi tersebut.

Membagi-bagi daging, ibu tak perlu sama rata, sama besar. Masih ada kentang atau kacang merah melengkapi kerat potongan daging yang kekecilan, menyertai. Ditambah bumbu rendang menimbun setiap bagian, hingga tak terlihat lagi ukuran besar kecilnya daging.

Nasi dalam piring sudah dibagi sebelas. Untuk ayah dilebihkan banyaknya, disajikan dalam piring kaca lebih besar dari ukuran piring makan lainnya. Kami, anak-anak, makan dalam piring kaleng atau piring plastik.

Tak ada yang salah dalam pandangan kami anak-anak, mengapa bagian makan ayah lebih banyak dari kami. Dan untuk hal ini, kami anak-anak, kukira termasuk ibu, sangat bahagia dengan kebiasan ini. Ayah adalah kepala keluarga.

Banyak yang dipikirkan dan dikerjakannya. Dari perbedaan yang tampak sepele ini, kami mendapatkan kebahagiaan. Betapa murahnya kebahagiaan.

Hanya beberapa jengkal jarak piring kami anak-anak dengan piring makan ayah. Sebelas orang membentuk lingkaran. Makan tanpa mengenal nasi, apalagi lauk tambahan.

Sesudah dan sebelum makan malam, kami anak-anak dan ibu berbahagia juga. Menunggu ayah pulang mengajar ke sebuah kursus Bahasa Inggris di pusat kota yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah.

Lihat juga...