Teh Itu Minuman Para Dewa
Catatan Ringan T. Taufiqulhadi
Bayangkan urusan minum teh yang sepele ini harus diurus dengan cara njelimet versi Lu Yu ini. Pasti akan membuat orang Indonesia mendelik karena sangat aneh. Tapi karena pikiran Lu Yu yang tak lazim ini pula, negeri Tiongkok dapat pengaruh sampingan yang tak terkira: kemampuan membuat porselen yang bermutu tinggi. Orang Tiongkok kuno piawai bukan kepalang urusan membuat porselen. Sejarah menunjukkan, Tiongkok menjadi negara produsen perselen indah yang terkemuka, dan hasil ciptaan mereka sampai menyebar ke nusantara.
Urusan minum-meminum teh di Jepang, mirip di Tiongkok, disebarkan oleh para pendeta Budhis juga. Dulu ada seorang kaisar, Shomu, namanya, yang punya kebiasaan mengumpulkan para pendeta Zen tidak kurang 100 orang setiap hari. Mereka berkumpul untuk membaca kitab suci Budha yang sakral. Setelah membaca dan meditasi, sang kaisar menyuguhkan teh dengan tata cara istana. Para biksu yang terkesan dan terbiasa dengan tata cara itu akhirnya menyebarkan kebiasaan minum teh ini dengan citra rasa istana ke mana-mana. Namun karena jatuh ke tangan biksu, selain penting urusan rasa, penting juga menambah unsur sakral sedikit. Kini tata cara plus sakral ini disebut “upacara teh”.
Dalam tradisi Jepang, upacara teh itu dimaksudkan untuk melatih keselarasan dengan alam dan merasakan keharmonisan dengan musim-musim. Maka pondok untuk upacara teh dirancang harus berpadu dengan lingkungan. Dinding-dinding pondok terbuat dari balok-balok kayu yang kulit luarnya masih menempel, atau malah ditempel dengan lumpur. Lokasi pondok harus berada sisi terbaik dari pergantian musim dan sinar serta bayangan matahari pada siang hari. Bunga diatur di sekeliling pondok sedemikian rupa sehingga setiap musim tumbuh berkembang alami sesuai musimnya.