Seekor Paus Terdampar di Pantai

CERPEN KIKI SULISTYO

Kini Sirin berdiri di hadapan binatang itu, seekor paus sperma yang tampak menderita. Bagian atas tubuhnya masih berdenyut, menandakan bahwa ia belum mati.

Pernah didengarnya cerita, bahwa paus-paus yang sakit akan menghindar dari kawanannya untuk mendamparkan diri ke daratan agar tidak menjadi beban dalam perjalanan panjang migrasi mereka. Melihat paus ini, Sirin tidak percaya kebenaran cerita itu.

Ia percaya paus ini dibuang karena induknya tidak menginginkannya. Sirin memperhatikan sekeliling, tak ada siapa-siapa. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya semua pengunjung pantai menatap takjub ke arahnya.

Sirin kembali teringat pada janin yang digugurkannya. Berganti-ganti ia menatap paus dan orang-orang. Ia merasa paus ini adalah janinnya dan orang-orang sudah tahu bahwa ia membuangnya. Sekarang mereka siap melontarkan api dan batu rajam.

Dalam selubung kengerian, Sirin melihat langit berubah kesumba. Ia rasakan basah pada pakaiannya adalah basah yang disebabkan darah.

Ia ingin melompat dan memeluk janinnya ketika ia dengar orang-orang mulai berseru dan satu per satu menghambur ke laut, seperti hendak memperebutkan daging paus itu. ***

Kiki Sulistyo, penulis asal Kota Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya berjudul Belfegor dan Para Penambang (2017). Ia adalah Tokoh Seni TEMPO 2018 bidang puisi untuk buku Rawi Tanah Bakarti  (2018). Aktif mengelola Komunitas Akarpohon, di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.

Lihat juga...