Seekor Paus Terdampar di Pantai

CERPEN KIKI SULISTYO

“Ini bukan lagi hanya tentang kita. Ini tentang anak kita. Aku mau membesarkan anak itu, dia darah-dagingku. Atau, sebenarnya dia bukan anakku?” Sirin ingin menampar kekasihnya ketika kata-kata itu meluncur dari bibir si pemuda.

Tetapi ia sadar, pemuda itu tahu, sebagaimana dirinya, Sirin tidak hanya bercinta dengannya. Mereka telah lama menjalin hubungan terbuka.

“Betul. Tapi dalam kenyataannya, anak ini ada dalam diriku, dalam tubuhku, dan akulah yang paling berhak atas tubuhku. Aku tidak mau menjadi agen lahirnya manusia baru yang akan menanggung beban sekaligus menjadi beban bagi hidup orang lain. Kau mengenalku. Dan kau tahu pasti bahwa aku akan mengatakan bahwa ini bukan anakmu, kalau ini memang bukan anakmu. Aku sama sekali tidak menuntut pertanggungjawaban karena ini memang bukan tanggung jawabmu. Ini adalah tanggung jawabku,” ujar Sirin.

Si pemuda terdiam, seakan sedang berhadapan dengan dinding tebal. Dia tahu, Sirin adalah dinding yang semakin dipukul akan semakin kokoh.

Pemuda itu menyerah. Melalui seorang teman, ia mendapatkan beberapa butir pil penggugur kandungan. Selama menunggu datangnya pil-pil itu, si pemuda tidak lagi membujuk Sirin untuk membatalkan niatnya; kenyataan yang justru membuat Sirin mulai ragu-ragu.

Ia mencoba memeriksa sumber keragu-raguan itu; apakah karena sikap kekasihnya yang berubah, yang membuat Sirin berpikir bahwa pada dasarnya si pemuda senang dengan rencana pengguguran itu tetapi pura-pura menentang?

Atau karena ia mulai membayangkan bagaimana jika usaha itu tidak berjalan lancar, lantas menimbulkan keributan, dan telunjuk seluruh umat manusia mengarah padanya sebagai pembunuh yang tak terampuni dosanya?

Lihat juga...