Kisah Kasijem Pedagang Jamu Gendong di TMII

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

“Pak Try kan suka lari pagi di TMII. Beliau suka pesan jamu ke saya lewat ajudannya untuk diantar ke puri. Biasanya setelah lari, Pak Try dan anaknya minum jamu yang dibeli dari saya,” ujarnya.

Kasijem menjual jamunya saat itu, segelas dihargai 200 rupiah, sehari omzet yang didapat mencapai Rp 10.000. Beberapa kali berjualan, omzet pun sampai bisa sekitar Rp 60.000-Rp 70.000.

“Sekali jualan bawa 9 botol jamu, dulu itu dapat Rp 10.000 saja sudah gede banget. Apalagi Rp 60.000-Rp 70.000, itu gede banget saya bisa nabung,” ujarnya.

Setiap pagi, Kasijem bangun pukul 03.00 WIB bersiap membuat jamu. Sekitar pukul 07.00 bergegas ke TMII untuk menjajakan jamunya.

Dari kerja kerasnya itu, Kasijem terus menabung di celengan. Setelah penuh, uangnya dibelikan perhiasan. Hingga suatu waktu, ada kontrakan tiga petak dekat pintu dua TMII, yang akan dijual. Kasijem bersama suaminya yaitu Karmin yang keseharian jualan es cendol keliling di daerah Pinang Ranti, berembuk untuk membeli kontrakan tersebut.

Harga tiga petakan kontrakan itu Rp 45 juta. Kasijem pun menjual perhiasan yang dibelinya dari hasil jualan jamu di TMII.

“Punya uang dikit, saya beli emas, dan terus itu dilakukan. Akhirnya emas dijual untuk beli kontrakan. Alhamdulillah berkat kebaikan Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto, saya punya rumah meskipun cuma 50 meter, nggak kontrak lagi,” ungkap Kasijem.

Kasijem mengaku jualan jamu gendong sejak tahun 1981 di Pasar Induk Kramatjati. Kemudian pindah ke TMII sejak tahun 1987. Menurutnya, dagang jamu di TMII telah mengubah kehidupannya yang kini tidak lagi ngontrak.

Namun diakuinya, dari tahun ke tahun jualan jamu di TMII mengalami penurunan peminat. Menurutnya, pengunjung TMII agak sepi tidak seperti zaman kepemimpinan Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto.

Lihat juga...