Para penduduk desa berniat menahan iring-iringan itu dengan segala cara. Mereka membuat barikade-barikade dari bambu yang dipotong ujungnya hingga tajam. Mereka juga membuat lubang-lubang berisi tanaman berduri.
Tentu, bagi Barabujjak itu hanyalah jebakan main-main. Yang ia bawa adalah 300 laki-laki yang terbiasa bertarung untuknya selama ini. Mereka membawa pedang, panah, belati dan tentu saja tameng.
Mereka terkenal sejak lama, karena kuat, kejam dan tanpa ampun. Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan mereka.
Beberapa penduduk desa yang ada di bagian paling depan, hanya bisa menelan ludah melihat iring-iringan itu. Baru saja pemimpin mereka memerintahkan seseorang untuk bicara baik-baik kepada pemimpin iring-iringan itu, ratusan panah sudah terlontar ke langit. Hanya butuh waktu sepembacaan satu doa, penduduk desa diselesaikan.
Kematian penghadang pertama itu segera membuat gempar seluruh desa di sekitar Jurang Jarra. Dengan kemarahan meluap, para laki-laki lainnya segera mengambil arit dan golok yang biasa dipakai untuk memotong rumput dan pohon.
Mereka bergerak maju. Menunggu di pohon-pohon yang ada di tepian setapak, siap menerjang bila iring-iringan itu lewat.
Tapi yang terjadi, sebelum iring-iringan utama lewat, orang-orang Barabujjak sudah datang lebih dahulu ke pohon-pohon itu, dan memanahi mereka satu demi satu. Sungguh, nasib penghadang kedua itu tak jauh berbeda seperti kawan-kawan mereka sebelumnya.
Kini, sepanjang jalan, mayat-mayat bergeletakan, tanpa satu pun korban dari pihak Barabujjak. Barabujjak yang melihat sendiri pemandangan ini, hanya menutup hidungnya dengan ibu jarinya.