“Katakan pada mereka, aku akan membangun lumbung yang berisi penuh padi bagi mereka semua selama 10 tahun,” serunya.
Tapi seminggu berselang, orang kepercayaan Barabujjak datang melaporkan hasilnya, “Tak ada satu pun desa yang tertarik dengan tawaran itu. Mereka nampaknya sudah cukup bahagia hanya dengan memiliki pohon itu bersama-sama.”
Barabujjak hanya mengangkat bahu. Ia tentu sudah menduga dengan penolakan itu. Nampaknya orang-orang desa itu tahu betul betapa berharganya pohon mereka. Maka Barabujjak pun langsung memerintahkan rencana keduanya.
***
DI Desa Jarra, tempat terdekat dari Jurang Jarra, semua orang berkumpul di balai desa dengan wajah tegang. Berita tentang iring-iringan orang bersenjata dan bertameng yang membawa puluhan kuda dan kerbau, sudah mereka dengar sejak sehari sebelumnya.
Mereka sudah bisa menebak kalau itu adalah iring-iringan yang diutus penguasa kota Ular yang beberapa waktu lalu ingin memiliki Pohon Tuhan mereka.
“Ia memang laki-laki serakah,” teriak kepala Desa Jarra. “Ia berniat memiliki pohon –yang merupakan harta kita satu-satunya di sini– untuk dirinya sendiri. Sungguh, terkutuklah dia!”
“Kita harus melawannya!” seru penduduk yang lain. Teriakan disambut penduduk lainnya. Seketika teriakan itu membahana ke seluruh penjuru desa.
Di salah satu sudut keramaian, seorang gadis kecil menatap mata ayahnya, “Ayah, apakah pohon kita akan diambil?” bisiknya dengan nada ragu.
Ayahnya hanya mengangguk, “Ya, Sayang. Ada orang serakah yang menginginkan pohon itu untuk dirinya sendiri.”
Gadis kecil itu berpikir sejenak, “Kalau pohon kita diambil, di mana kita akan berdoa nanti?”
Ayahnya hanya terdiam, tak bisa menjawab.