Mau tidak mau, bangunan baru itu mengingatkan orang-orang di desa itu—terutama orang-orang tua— pada sesuatu yang dulu pernah ada di sebuah tempat. Orang-orang pun saling bercerita. Cerita-cerita itu menyebar dari satu tempat ke tempat lainnya.
Hari-hari selanjutnya, ada saja yang singgah untuk sekadar mengambil gambar atau dengan sungguh-sungguh ingin mendengarkan Mateus menceritakan secara terperinci bagian-bagian di dalam uma. Namun, Mateus tidak pernah menyebut apa yang telah dibangun di samping rumahnya itu sebagai uma.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa bangunan itu terlalu kecil sehingga tidak mungkin menghadirkan seluruh bagian uma di dalamnya.
“Tapi kalau kalian ingin melihat uma yang asli, rumah adat seperti yang pernah ditinggali leluhur kalian, bukan di sini tempatnya. Menyeberanglah dan pergilah ke hulu!” demikian Mateus sering mengatakan kepada mereka yang datang.
***
MATEUS tidak menyangka bahwa yang datang pada hari gerimis itu adalah Nesto. Nesto mengaku sudah cukup lama mengetahui apa yang dilakukan Mateus. Hanya saja dia baru bisa menemukan waktu yang tepat untuk berkunjung.
“Intinya lembaga saya ingin membantu,” ujar Nesto menjelaskan maksud kedatangannya, “agar tempat ini bisa menampung lebih banyak pengunjung. Apalagi, saya dengar sudah mulai banyak siswa sekolah yang datang kemari. Nanti caranya seperti ini…”
Meski ragu, Mateus berusaha menyimak dengan seksama penjelasan dari Nesto. Bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Sebab, Mateus —atas saran seseorang yang dianggapnya berpengalaman— sudah pernah mencoba melakukannya.
“Kamu mungkin tidak percaya, saya sudah melakukan yang seperti ini dua tahun lalu. Hasilnya kosong. Tidak ada yang namanya bantuan,” tanggap Mateus seraya memperlihatkan sebuah salinan proposal. “Ini proposal yang pernah saya buat.”