“Lagi pula, untuk apa juga mencari-cari uma,” ujar Nesto. “Tamu-tamu hotel juga ada yang bertanya seperti itu. Dan kami tahu harus mengarahkannya ke mana.”
“Mereka pasti sangat berharap bisa melihatnya. Barang-barang ada satu yang masih tertinggal di Sipora ini,” tanggap Mateus.
“Kamu sendiri apa urusannya bertanya-tanya seperti itu? Seperti turis saja!”
Mateus tidak sungguh-sungguh menanggapi apa yang diujarkan Nesto. Dia tahu bahwa laki-laki yang kerap dilihatnya di pelabuhan itu hanya sedang bercanda.
Betapa pun begitu, Mateus menjadi teringat apa yang pernah ditanyakan anak laki-lakinya yang duduk di bangku Sekolah Dasar.
Dalam suatu kesempatan sepulang dari sekolah, anak sulungnya bertanya: ‘Di mana bisa melihat uma?’ Atau dalam kesempatan yang lain pertanyaan itu bisa berubah lebih mendesak: ‘Kapan kita bisa melihat uma—rumah yang sangat besar itu?”
Setiap kali menghadapi pertanyaan seperti itu, Mateus hanya bisa berjanji. Dia katakan bahwa waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah adat itu adalah ketika sekolah-sekolah sedang libur panjang. Anak sulungnya pun menunggu.
Sudah sekian kali libur panjang, tetapi tidak terjadi apa-apa. Mateus kembali memperlihatkan gambar-gambar buram dalam sebuah buku dan menceritakan secara terperinci bagian-bagian di dalam ‘rumah besar’ itu.
Mateus menghapalnya di luar kepala. Dia memiliki ingatan masa kecil ketika masih tinggal di uma bersama sejumlah keluarga besarnya. Ingatan itu semakin kuat saja rasanya, justru ketika dia telah jauh dari kampung kelahirannya.
“Di sini semakin banyak hal-hal baru,” ujar Mateus. “Orang-orang baru, berdatangan dari berbagai tempat. Sudah semakin maju.”