Membersihkan Limbah dengan Limbah
Editor: Makmun Hidayat
JAKARTA — Sebagai salah satu negara penghasil garam, Indonesia juga menghasilkan bittern. Walaupun hanya berstatus limbah, ternyata bittern memiliki potensi sebagai bahan baku utama pembuatan nanomaterial fungsional berbasis magnesium oksida untuk dekontaminasi dan desinfeksi air.
Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr. Swasmi Purwajanti, M.Sc menyatakan bittern merupakan larutan sisa pengolahan garam yang sudah jenuh sehingga tidak bisa lagi mengendap.
“Bittern ini dikenal juga dengan nama air tuh dan rasanya pahit. Karena itu disebut dengan nama bittern. Dalam bittern ini terkandung magnesium dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu 35-70 gram per liter, bergantung pada daerahnya,” kata Swasmi saat temu media di Gedung D Dikti Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Magnesium ini harus dirubah dulu menjadi magnesium oksida dengan melakukan penambahan OH. Dan bentuknya akan berubah menjadi padat.
“Lalu magnesium oksida ini akan dipanaskan hingga 500 derajat, yang nantinya akan berubah menjadi MgO. MgO inilah yang akan formukasikan dalam bentuk pelet untuk diletakkan di lokasi pencemaran,” ujar Swasmi.
Agar kapasitas penyerapan lebih besar, Swasmi menyebutkan bahwa magnesium ini harus dirubah menggunakan nanoteknologi.
“Saya memang sudah lama melakukan penelitian terkait magnesium. Dan memang magnesium ini memiliki kemampuan untuk menyerap limbah berat, seperti limbah tekstil atau phospat dan bakteri,” ungkapnya.
Pada penelitian sebelumnya, Swasmi meneliti tentang penyerapan arsenik dengan menggunakan magnesium. Tercatat 10 mililiter arsenik yang dicampur dengan 0,4 gram Mg per liter akan mencapai ekuilibrium dalam jangka waktu 2-3 jam.