Terasering, Solusi Pertanian di Sikka
Editor: Mahadeva
MAUMERE – Petani di Kabupaten Sikka rata-rata memiliki lahan pertanian yang berada di lereng atau tebing yang miring. Selain itu, pola pertanian yang dilakukan adalah pertanian lahan kering.
Kebanyakan mereka menanam padi dan jagung saat musim hujan. “Sejak awal, dalam melakukan fasilitasi terhadap petani, kami selalu meminta agar lahan pertanian harus menggunakan sistim terasering,” kata Carolus Winfridus Keupung, Direktur Wahana Tani Mandiri, Senin (19/8/2019).

Wim menyebut, kebanyakan lahan pertanian di daerah tersebut dalam kemiringan antara 10 hingga 30 derajat. “Kayu yang ditebang serta bebatuan bisa dipakai sebagai penahan dalam pembuatan terasering. Untuk tanaman terasering kami anjurkan menggunakan kaliandra, kelor dan juga gamal,” jelasnya.
Tanaman terasering dipilih beberapa jenis untuk mengantisipasi serangan hama. Dulu, saat gerakan reboisasi yang dicanangkan Gubernur NTT, Ben Mboi di 1980-an, banyak ditanam tanaman lamtoro. “Hampir semua hutan dan terasering ditanami lamtoro. Namun ketika ada serangan hama kutu loncat, ini berakibat fatal. Hama kutu loncat ikut menyerang tanaman pertanian dan perkebunan,” ungkapnya.
Setelah puluhan tahun menggunakan terasering, 97 kelompok tani dampingan WTM di Sikka saat ini sudah mulai merasakan manfaatnya. Kemiringan tanah mulai berkurang, lahan pertanian-pun menjadi lebih subur dan hijau oleh tanaman terasering.
Kamilus Ardianus, Ketua Kelompok Tani Tanalangi, Desa Renggarasi, Kecamatan Tanawawo, dulunya sistim terasering tidak banyak dipergunakan para petani di desanya. Sejak adanya pendampingan WTM, petani mulai banyak membuat terasering. Tanaman di kebun menjadi lebih subur, karena dedaunan dibiarkan mengering dan dijadikan pupuk.