Bubur Sumsum Kaya Makna, Simbol Saling Membantu
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
LAMPUNG – Salah satu menu kuliner tradisional yang cukup dikenal masyarakat suku Jawa adalah bubur sumsum.
Kerap disebut dengan jenang sumsum, makanan tersebut memiliki ciri khas bubur beras putih dan kuah atau juruh gula merah. Pada zaman modern bubur sumsum kerap dikombinasikan dengan warna dan varian rasa, disajikan dengan es yang menyegarkan.
Namun bagi masyarakat di pedesaan Lampung Selatan (Lamsel) yang berasal dari Yogyakarta, bubur sumsum kerap disajikan pada momen khusus.
Pembuatan bubur sumsum kerap disajikan saat pungkasan atau berakhirnya sebuah acara hajatan pernikahan atau kelahiran bayi. Pembuatan bubur sumsum dilakukan berbarengan dengan menu brokohan atau menu sederhana namun istimewa untuk dibawa pulang.

Suyatinah, warga Desa Penengahan, Lamsel, menyebut bubur sumsum merupakan makanan terbuat dari tepung beras.
Proses pembuatannya dilakukan saat semua proses pekerjaan membantu tuan rumah hajatan akan berakhir. Sebab bagi warga keturunan Jawa, tradisi rewang atau membantu saat hajatan pernikahan masih kental.
Rewang kerap dilakukan selama dua hingga tiga hari. Semua tetangga akan diundang membantu untuk kelancaran acara hajatan.
“Setelah tiga hari, acara selesai maka para laki-laki akan membereskan semua peralatan, mengembalikan peralatan dan kaum wanita memasak untuk hidangan. Salah satunya brokohan dan menu bubur sumsum,” ungkap Suyatinah, saat ditemui Cendana News, Sabtu (20/7/2019).