Tumpengan, Tradisi Bersyukur yang Masih Lestari di Lamsel

Editor: Mahadeva

Pemotongan tumpeng oleh kepala desa disaksikan oleh para ibu dan sesepuh desa simbol peresmian sarana yang akan digunakan oleh warga – Foto Henk Widi

Tumpeng disebut Wagirin, menjadi sarana mempererat hubungan vertikal manusia dengan sang Pencipta. Kemudian bancakan menggambarkan hubungan horisontal manusia dengan sesama dan alam semesta. Melalui pembuatan tumpeng, ada upaya mengingatkan generasi muda, mengenai makna besar yang menghubungkan manusia, Tuhan YME dan alam, sehingga manusia bisa menjaga keharmonisan alam.

Pada tumpengan yang dibuat ibu-ibu rumah tangga di Desa Kelaten, tumpeng dibuat dari nasi putih dibentuk kerucut. Kerucut menghadap ke atas, menyimbolkan manusia harus selalu ingat kepada sang Pencipta. Berbagai jenis lauk yang disediakan menjadi sebuah simbol kebersamaan. Kebersamaan tersebut berasal dari sejumlah perbedaan berupa berbagai macam lauk, sayur berupa teri, orek tempe, sayur urap, telur.

“Filosofi lain yang terkandung dalam tumpeng diantaranya keberadaan ayam utuh atau disebut ingkung, menyimbolkan makna penyerahan diri seutuhnya manusia kepada sang Pencipta,” cetus Wagirin.

Kali ini tumpeng sudah siap didoakan, untuk mewujudkan rasa syukur atas pembuatan fasilitas olahraga di Desa Kelaten. Masyarakat berkumpul, rasa guyup, rukun, kebersamaan terlihat dengan kehadiran warga mengelilingi tumpeng yang diletakkan pada tampah beralas daun pisang. Pelengkap berupa minuman lima hingga tujuh gelas menyimbolkan segala jenis air mulai rasa tawar, manis, pahit melambangkan warna kehidupan yang harus dijalani manusia.

Lihat juga...