Luka-luka yang Tersembunyi

CERPEN A. WARITS ROVI

Aku sudah harus memasak, mencuci dan bila sempat menyapu. Beruntung nenek tak punya kuasa untuk mengontrolku, sehingga aku bebas bolos sekolah, keluar keluyuran sesukaku dan tidur sepuasnya. Nenek bukan ayah atau ibu, tak mungkin ia akan menegurku, apalagi dia selalu dalam keadaan sakit-sakitan.

“Lebih baik kamu cari kerja di sini saja. Biar sedikit asal berkah dan bisa berkumpul dengan keluarga. Tak usah merantau seperti ayahmu, meski pendapatannya banyak, tapi tidak berkumpul dengan keluarga,” suara nenek berat dan dalam.

Air matanya kilap berderai. Aku hanya diam, sambil terus mengepal telapak tangan nenek yang putih dan dingin.
***
SUDAH sepuluh hari nenek terbaring sakit. Tugasku kian bertambah, mengerjakan apa yang biasanya nenek kerjakan. Sementara nenek sendiri semakin gelisah, kelopak matanya yang mencekung keriput selalu memuat bola mata yang redup.

Bila melihat semua ini, rumah besar dan megah ini rasanya tak berarti apa-apa. Harta yang menumpuk ini. Pujian yang menumpuk ini dan ini-ini yang lain. Kadang aku berkesimpulan, bahwa ketenangan jiwa orang yang tinggal di dalam rumah yang besar bisa mungkin lebih buruk daripada mereka yang tinggal di rumah  kecil. Aku merasakannya saat ini.

“Kau lebih baik segera menikah dengan Aliya,” nenek kembali mengulang ucapannya, membuat telinga dan seluruh tubuhku gatal. Aku muak. Nenek tidak tahu, setiap kali aku bertemu Aliya, tak ada tegur sapa di antara kami, selain senyum asing yang dipaksakan menggurat di bibir.

Ingin rasanya kuceritakan kepada nenek, bahwa pertunanganku dengan Aliya sejak aku masih bayi, hanyalah atas kemauan orangtuaku dan orangtua Aliyah. Mungkin nenek merasa bahagia melihat aku berdampingan dengan Aliya, sebagaimana beberapa tahun silam, ketika kami berusia enam tahun.

Lihat juga...