NENEK menuntunku ke pojok tenggara pekarangan. Tatih pelan menahan sesunggi ancak pelepah daun pisang yang bertumpu di atas kepalanya.
Di ancak itu, sepasang kelapa kuning ditancapi bunga bertandan potongan bambu kecil mirip tusuk sate. Sepasang kelapa itu beralas beras dan aneka kue. Harum disapu angin Kamis sore yang sedikit lembab.
Aku mengikuti langkah nenek, hingga duduk simpuh di bawah pohon srikaya yang rindang. Di pangkal pohon itu, nenek menaruh ancak dengan hati-hati.
Setiap kali nenek menurunkan ancak dari kepalanya dan menaruh ancak itu di tanah, wajahnya selalu terlihat berat, kadang mengucur air mata, kadang terisak. Yang pasti, ia akan mengelus sepasang kelapa itu agak lama.
Di sekitar pangkal pohon srikaya itu, ratusan kelapa kuning berdempet baur tak beratur, warnanya sudah mengabur oleh tikaman cuaca, bahkan sebagian menguar bau busuk dan pada bagian yang busuk itu, ulat-ulat kecil berkeliaran.
Ratusan kelapa kuning itu berasal dari ancak-ancak sebelumnya, yang nenek bawa setiap Kamis sore ke tempat itu, sejak ayah dan ibu merantau ke Jakarta. Kata nenek, ancak itu adalah sesajen ruwatan untuk ayah dan ibu agar selamat.
Setiap kali kami mengantar sesajen itu, nenek pasti akan menakir petuah, dari pincuk bibirnya yang bau sirih, ia menasihatiku agar tidak jadi perantauan. Aku terkejut setiap mendengar kata-kata itu.
Kenapa nenek bilang begitu. Padahal ayah dan ibu jadi perantau, dan dengan perantauan itulah keluarga kami jadi banjir uang, kiriman ayah dan ibu, hingga kami bisa membeli banyak hal, merenovasi rumah jadi lebih besar dan elit, membeli tanah, bahkan ibu dan ayah naik haji dari hasil bekerja di perantauan.