“Lisa nggak butuh uang, Lisa mau ngomong sama Ibu! Lisa ingin dengar dongeng dan lagu yang Ibu nyanyikan tiap malam!” jerit Lisa. Tangisnya meledak.
“Lisa, nggak boleh begitu. Ibu kan’ sudah janji pergi untuk kamu, untuk kalian, untuk kita. Ibu pergi untuk kita, Lisa dan ini buktinya!” jelas Mbak Rufi.
Lisa terdiam. Air matanya meleleh. Ibu, kenapa kau harus pergi jauh, batin Lisa. Mbak Rufi memeluknya.
“Ibu pasti akan kembali, Lisa. Ibu tidak lupa dengan kalian,” bisik Mbak Rufi.
Lisa pergi ke kamar. Dipandanginya di dinding lukisan Ibu karyanya yang sedang naik kereta ke langit ditarik kuda-kuda bersayap. Di mata Lisa lukisan Ibu bergerak. Langit yang penuh kerlap-kerlip bintang memancarkan sinarnya sementara sayap-sayap di kuda-kuda itu mengepak dengan indahnya. Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan.
Oh, Ibu.
Keheningan malam mulai menyergap. Rasanya sudah terlalu lama Lisa tak lagi mendengar dongeng dan lagu untuknya.
2011
SAMPAI pada suatu sore yang cerah Lisa terkejut melihat kedua mata Mbak Rufi sembab di ruang tamu. Pulang dari rumah Evie, dilihatnya Mbak Rufi dan Nenek berpelukan, lalu menangis.
Selain itu dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tak dikenalnya duduk di ruang tamu. Wajah-wajah mereka tampak asing di mata Lisa. Mungkin mereka dari kota.
“Ada apa, Mbak, ada apa, Nek?” tanya Lisa heran.
Keduanya tak menjawab. Mbak Rufi membelai kepala Lisa kemudian menyuruhnya ke dalam. Di kamar Lisa mendengar suara Mbak Rufi menjerit, histeris.
“Ini tidak adil! Ibu tidak bersalah! Kalau ibu memang salah kenapa dia harus dihukum begitu keji? Ini tidak adil! Tidak adil!” jerit Mbak Rufi.