Soeharto Pahlawan, From Zero to Hero
Editor: Mahadeva WS
Konsep pembangunan terencana tersebutlah, yang tidak ada dalam pemerintahan pasca reformasi. Bahkan, sejak Soeharto mengundurkan diri, belum ada pejabat presiden yang benar-benar mementingkan kepentingan rakyat. Bahkan, berbagai kebijakan yang diluncurkan, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, tanpa melihat aspek kepentingan rakyat yang jauh lebih besar.
“Pasca reformasi ini, saya tidak melihat ada penguasa yang benar-benar memiliki keinginan luhur. O.iya saya itu pejabat, bagaimana kesejahteraan rakyat? Yang ada saat ini bagaimana mempertahankan kekuasaaan. Tentu itu sangat melenceng dari cita-cita luhur pendiri bangsa,” tandasnya.
Citos Indonesia disebutnya, prihatin dengan perkembangan kualitas pola pikir bangsa Indonesia saat ini. Banyak orang yang mengklaim sebagai Nasionalis, Pancasilais dan serta paling NKRI. Namun realitasnya, justru berkebalikan. “Banyak yang teriak saya Pancasilais, Saya NKRI, tapi dalam keseharianya justru menunjukkan hal yang bertolak belakang. Saya menjadi warga Indonesia ini sangat prihatin,” imbuhnya.
Memasuki tahun politik ini, Citos berharap siapapun yang nanti menjadi Presiden. Untuk lebih mementingkan rakyat, dibanding golongan maupun kelompoknya. Pemimpin bangsa kedepan, juga diharapkan memiliki grand desain pembangunan Indonesia, baik jangka pendek, menengah dan panjang. “Kalau dulu ada GBHN, ada Pelita, sekarang tidak ada. Jadinya kita tidak tau 10 atau 20 tahun kedepan seperti apa. Kita hanya ditontonkan lima tahun sekali, yakni perebutan kekuasaan yang tidak ada akhirnya,” tambahnya.
Citos berharap, perebutan kekuasaan di Indonesia segara berakhir, dan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang benar-benar amanah, dan mementingkan rakyatnya. “Sehingga Indonesia bisa segera menjadi bangsa yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Yakni ekonomi tumbuh baik, stabilitas nasional terjag, rakyatnya benar-benar aman, nyaman, dan makmur,” pungkasnya.