Ibu bahkan tidak terlihat berminat menyantap ikan bakar yang kusajikan. Kupikir mungkin ibuku sakit, jadi kuusahakan beberapa obat alami untuk dia minum, namun tak ada perubahan apa pun. Suatu hari adik bungsuku bilang bahwa Ibu mungkin kepikiran soal kejadian beberapa hari sebelumnya. Aku tidak tahu apa itu, tetapi adikku bilang Ibu sempat bertemu dengan seseorang secara tidak sengaja ketika kami berjalan menuju ke hutan ini.
Aku mengingat-ingat waktu itu. Kami sedang berhenti di sebuah pom bensin, dan di sana aku serta dua orang adikku buang hajat. Ya, kami memang harus buang hajat di tempat yang wajar, meski kami sangat membenci itu. Tujuannya supaya tidak dicurigai dan ditangkap oleh polisi. Tentu saja aku tidak tahu apa yang Ibu kerjakan saat itu, dan tentu saja hanya salah satu adikku yang kebetulan melihatnya saja yang tahu.
Katanya, orang asing itu seperti mengenali Ibu dan dia berusaha menyapa Ibu, tetapi Ibu lari dan bersembunyi di belakang mesin kasir. Adikku terlalu kecil jadi tidak tahu apa maksud dari semua itu. Aku pikir, mungkin Ibu bertemu orang yang dia kenal di masa lalunya, dan dia merasa harus segera menyingkir.
Seandainya orang asing itu adalah perusak, kurasa seharusnya ibuku tenang-tenang saja. Tapi, mungkin saja dia tidak sekadar perusak. Atau boleh jadi orang asing itu bukan perusak namun justru adalah orang yang begitu berpengaruh di kehidupan ibuku, dan itulah yang membuatnya tidak berselera makan serta akhirnya sakit.
Sebelum kubicarakan ini ke Ibu, esok paginya, ketika aku dan adik-adik bersiap ke sungai untuk mencari ikan, sebuah rombongan dengan tas ransel di punggung masing-masing datang. Aku tidak kenal orang-orang modern berpakaian bersih itu. Aku tidak kenal satu pun di antara mereka, tetapi orang-orang itu tersenyum. Ibu langsung pingsan sebelum orang-orang itu sempat menjelaskan siapa mereka. Akhirnya, kami pun tahu jika enam orang tersebut adalah saudara kandung Ibu dan mereka telah lama menanti kedatangannya.