Rumah Hutan

CERPEN KEN HANGGARA

“Sudah berapa tahun Anda dan keluarga Anda tinggal di hutan? Kalian tidak punya rumah dan kami tidak membiarkan orang-orang seperti Anda mengotori tempat-tempat umum di kota kami yang bersih ini!” kata petugas tersebut.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dan akhirnya Ibu pun punya solusi supaya kami bisa cepat-cepat pergi dari tempat itu. Ibu ingat sebuah kota di mana dulu dia lahir dan dibesarkan. Di kota itulah dulu Ibu bertemu Ayah.

“Tetapi sudah puluhan tahun Ibu tidak ke sana,” keluhnya, setelah beberapa lama ia terdiam.

Lalu Ibu pun menghampiri beberapa petugas dan memohon sesuatu kepada mereka. Aku tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi akhirnya orang-orang itu membiarkan kami pergi. Bahkan mereka mengantar kami ke sebuah stasiun dengan memberi bekal uang satu dompet.

Kami juga diberikan surat keterangan yang menjelaskan betapa kami bukan orang-orang jahat dan kebetulan saja kami kehilangan kartu identitas. Aku tidak tahu apa yang Ibu lakukan untuk mendapat semua kemudahan ini. Aku juga tidak berani bertanya, karena Ibu tampak sangat marah begitu meninggalkan kantor polisi.

Belakangan aku tahu, setelah kami naik kereta dan pindah ke kota kedua dan ketiga serta keempat, betapa di kantor polisi tempo hari Ibu memberikan sesuatu yang berharga dari dirinya untuk oknum, orang-orang bejat itu. Aku tidak lagi bertanya karena aku sendiri tahu soal itu dari igauan Ibu di saat dia tertidur dan mungkin mengalami mimpi buruk. Dapat kubayangkan, memang benar kehidupan modern ini begitu kejam dan tidak cocok untuk kami.

Di kota-kota lain kami tidak sampai mengalami hal seperti di kota pertama, sebab Ibu punya cara supaya kami semua mendapat semacam kartu pengenal palsu. Kami membuatnya dengan cara membayar orang-orang tertentu, yang entah dari mana Ibu kenal, dengan uang dari para polisi tempo hari.

Lihat juga...