Pada malam pertama itu, mendekati waktu Subuh, kami digelandang ke bangunan di depan sebuah monumen, oleh orang-orang berseragam, yang kemudian kutahu betapa mereka adalah polisi.
Kami, yang sejak awal hidup di hutan, dan tidak pernah tahu benar soal kehidupan modern, tetap dapat membaca, karena ayah dan ibu kami, generasi pertama yang mengukuhkan kehidupan paling murni di alam liar ini, tidak ingin kami dibodohi jika kelak bertemu orang-orang yang tinggal di kota-kota dengan berbagai alat modern dan sistem kehidupan yang rumit. Nah, dari situ aku tahu kalau kami dikurung di sebuah kantor polisi.
Kami ditanyai banyak hal dan hanya ibuku yang dapat menjawab banyak hal, yang tentu saja tidak terlalu kami pahami. Ibu memang sempat melakoni kehidupan modern bersama ayah, tetapi itu terjadi jauh sebelum aku lahir.
Katanya, kehidupan di kota-kota besar dengan sistem yang luar biasa kejam itu tidak cocok untuk anak-anak mereka, dan sejak itulah ayah ibuku beserta orang-orang lain yang senasib dengan mereka (yang tak senang dengan segala sistem dan alat-alat modern serta tetek bengeknya) membangun sebuah komunitas yang bertahan begitu lama hingga akhirnya hutan kami digunduli dan kami harus bermigrasi.
Meski begitu, Ibu dan Ayah (ketika beliau masih hidup) tidak pernah membicarakan apa pun soal kehidupan masa lalu mereka. Jadi, ketika kutahu Ibu berbicara dengan polisi dengan cara yang jauh dari cara-cara yang kupelajari di hutan selama ini, aku seakan melihat sosok lain ibuku.
Tentu saja kami tidak menjalani semuanya dengan baik; para polisi itu membawa keluargaku ke suatu tempat yang penuh dengan orang-orang berbaju lusuh, dan banyak dari mereka yang diam-diam terlihat membicarakan kami. Karena tidak tahan, kuminta pada salah satu petugas agar kami dibebaskan saja dan agar kami dibiarkan menemukan tempat tinggal kami sendiri.