SEJAK hutan yang kutinggali digunduli, aku beserta keluargaku pindah ke kota-kota besar. Kami tidak pernah bertahan selama lebih dari lima hari di suatu kota dan itu yang membuatku kemudian mengira betapa hidupku akan berakhir sial.
Di hutan, di sebuah komunitas pecinta alam dan pembenci kehidupan modern serta alat-alat elektronik, aku dibesarkan dengan keyakinan bahwa manusia harus menyatu sepenuhnya dengan alam dan kami dilarang memakai alat-alat temuan zaman modern untuk pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh tangan kami sendiri.
Tentu saja, dengan kehidupan yang seperti ini, aku tidak mengerti banyak hal yang harus dimengerti oleh siapa pun yang tinggal di kota. Aku adalah anak sulung dari lima bersaudara dan ayahku telah meninggal.
Akulah pemimpin di kelompok kami, sebab komunitas di hutan itu telah terpecah belah dan masing-masing kepala keluarga sepakat untuk tak lagi hidup beriringan seperti dulu.
Sebenarnya ada beberapa kelompok yang sepakat untuk mencari kehidupan sendiri di hutan-hutan lain, tetapi beberapa keluarga dalam satu perjalanan yang sulit ini tidak mungkin tidak menyebabkan kekacauan satu sama lain. Dan karena aku tidak ingin itu terjadi di keluargaku, maka akhirnya keluargaku pun terpisah dari komunitas seperti yang juga terjadi pada beberapa keluarga lain.
Kota pertama yang kami kunjungi tidak terlalu ramah; kami harus tidur kedinginan di tengah kota dengan rumah-rumah yang tertutup rapat dan tidak menyediakan sedikit pun kepedulian untuk sekadar menjawab pertanyaan.
Bahkan, banyak juga yang boleh jadi menganggap kami gila, sebab belum sampai kami hampiri mereka, orang-orang itu sudah lebih dulu kabur.