“Jadi pegawai negeri itu lebih terjamin saat ini,” kata Ayah. Entah apa yang ada di pikiran Ayah saat itu. Karena Ayah sendiri adalah seorang pengusaha. Ibu yang menjadi pegawai negeri, guru di sebuah SMU. “Mendaftarlah ke Departemen Kesehatan, pengabdian ke pelosok tidak terlalu lama.”
Tapi waktu yang tidak terlalu lama itu telah membuat saya terpana. Seorang anak yang batuk menyambut saya di Puskesmas yang sangat sederhana. Batuk yang memercikkan setetes darah TBC.
Saya merasa ngeri waktu meraba dada anak yang kurus itu. Ngeri karena dada tulang berbungkus kulit itu menggambarkan lingkaran setan kemiskinan – kebodohan – kurang gizi. Nyatanya saya menghadapi lingkaran setan itu setiap hari.
***
Lembah Ciceuri sebenarnya bertanah subur. Sepertinya pohon apapun yang ditanam di sini akan tumbuh bagus. Katanya, mata air memancar di mana-mana. Dulu, sebelum pepohonan ditebang. Sebelum kebun-kebun penduduk berpindah tangan ke pemilik yang jarang datang. Sebelum hutan Ciceuri gundul karena dibuat peternakan ayam.
Orang-orang kota berebut membeli tanah di sini. Mungkin karena harganya sangat murah. Tanah seluas sepuluh hektar, dua puluh hektar, lalu dibatasi tembok tinggi atau pagar kawat. Pemiliknya hanya dikenal dengan nama sandinya, “pejabat di Bandung” atau “orang terkenal di Jakarta”.
Pepohonan besar ditebangi. Mata air semakin jarang. Penduduk asli kemudian menjadi petani penggarap atau pengurus kebun. Mereka tinggal di rumah-rumah sederhana, berjauhan, kadang hanya satu-dua rumah di kebun yang luas.
Cerita seperti itu tentu saya tidak mengalaminya. Karena ketika saya datang tiga tahun yang lalu, Lembah Ciceuri sudah gersang. Bila kemarau tiba, penduduk menghemat air. Bila musim hujan tiba, jalanan becek, licin, dan sunyi.